Sebelum membahas contoh kasus dalam tradisi sosio-kultural, sebelumnya kita simak sedikit penjelasan mengenai tradisi sosio-kultural dan teori pengelolaan identitas.
TRADISI SOSIO-KULTURAL
(Komunikasi adalah ciptaan realitas sosial)
Pendekatan
Sosiokultural terhadap teori komunikasi menunjukkan cara pemahaman kita
terhadap makna, norma, peran, dan peraturan yang dijalankan secara interaktif
dalam komunikasi. Tradisi ini menjelaskan juga bahwa realitas bukanlah
seperengkat susunan di luar kita, tetapi dibentuk melalui proses interaski di
dalam kelompok, komunitas, dan budaya. (Littlejhon, 2014: 65).
TEORI : Teori Pengelolaan Identitas (Tadasu Todd Imahori dan
William R. Cupach)
Teori Pengelolaan
Identitas (menunjukkan bagaimana identitas terbentuk, terjaga, dan berubah
dalam hubungan. Dalam membentuk identitas sebuah hubungan, perbedaan budaya
terlihat jelas ketika terjadi komunikasi intercultural (intercultural
communication)) (Littlejhon, 2014: 294).
KONSEP TEORI :
*Teori ini menjelaskan
tantang adanya hubungan antara masing-masing individu melalui budaya.
*Memahami
perbedaan-perbedaan antara individu mengenai hubungan yang berkaitan, khususunya
perbedaan budaya.
ASUMSI TEORI :
Kompetensi memerlukan
perilaku yang efektif dan sesuai, yang akan memuaskan masing-masing pihak yang
berhubungan. Sementara, identitas didefinisikan sebagai sebuah ‘konsepsi
diri-teori mengenai diri seseorang.’ Identitas digunakan untuk memahami diri
seseorang dan dunia sekitar. Identitas dibentuk melalui mekanisme seperti
kategorisasi diri kedalam beberapa kelompok sosial serta peran sosial yang
dijalankannya. Identitas merupakan sebuah bentukan yang kompleks dan terdiri
atas beberapa aspek yang meliputi banyak subidentitas. Identitas dapat
dihubungkan dengan kewarganegaraan, etnis, wilayah, jenis kelamin, usia,
pekerjaan, serta kelompok sosial seperti kelompok orang yang memiliki hobi
maupun pengalaman yang sama.
CONTOH KASUS :
Selama beberapa bulan, Davika
datang ke sebuah konvensi internasional tentang teknologi. Ia memiliki banyak
teman dari berbagai negara, namun setiap kali datang kembali ke acara tersebut,
ia merasakan hal yang sama. Davika merupakan satu-satunya orang di konvensi
tersebut yang berasal dari Indonesia. Betapa pun tulusnya teman-teman dari Negara
lain, Davika merasa, mereka melihat dirinya dengan cara tertentu. Mereka
terlihat kaget saat melihat Davika merupakan wanita yang kreatif dan asertif.
Mereka menyebut Davika sebagai “kebarat-baratan” dan bukan “real Indonesian”.
Kemudian, teman-teman Davika mengajaknya datang ke sebuah Festival Film Indonesia
yang diadakan oleh universitas lokal setempat. Mereka terkesan dengan karakter
wanita “kuat” yang ditunjukkan oleh film tersebut. Mereka tidak menyangka
wanita seperti itu eksis di Indonesia. Apalagi wanita tersebut menggunakan
hijab. Mereka pikir wanita berhijab di Indonesia (Muslim stereotipe berdasarkan
image media popular) adalah wanita yang tunduk dan selalu pasif, tidak punya
kekuatan. Walaupun teman-teman Davika sudah kenal dengannya, namun mereka juga
tidak punya pengetahuan yang nyata tentang “kelompok” yang Davika miliki, untuk
menempatkan dirinya. Mereka juga dalam situasi sulit, dan rentan terhadap
stereotipe yang disajikan oleh pihak lain.
PEMBAHASAN :
Dari contoh kasus yang
telah dijelaskan, seringkali identitas seseorang dipandang sebagai representasi
budaya nasional-nya (esensialis). Padahal, cultural
identity atau identitas kultural seseorang harus dibaca sebagai image atau
gambaran diri yang mereka inginkan dalam waktu tertentu, bukan sebagai bukti
budaya esensialis nasional. Setiap orang seperti halnya Davika, terikat pada
masyarakat yang kompleks, dengan berbagai pilihan. Artinya, mereka bisa
mendefinisikan diri mereka sebagai bagian dari anggota kelompok umur tertentu,
bangsa tertentu, etnis tertentu, kelompok sosial tertentu, agama tertentu,
kelompok hobi tertentu. Sebagai individual, seseorang juga merupakan anggota
berbagai kelompok, sehingga identitas kultural seseorang merupakan hal yang
unik. Dengan demikian, identitas bukan-lah merupakan konsep yang stabil, tetapi
dicapai melalui diskursus manipulasi keterampilan di masyarakat.
PENYELESAIAN :
Dalam hal ini, interaksi
antarpribadi, intracultural, maupun intercultural, identitas “ditampilkan”
oleh individu sebagai sesuatu yang mewakili dirinya dan juga ingin orang lain
menganggapnya demikian. Oleh sebab itu Davika dan teman-temannya harus memulai
komunikasi antarpribadi dan lebih mendalam agar lebih mengenal budaya satu sama
lain, karena dalam mengetahui identitas masing-masing individu, teman-teman
Davika tidak bisa hanya menilai dari apa yang mereka lihat dari stereotype media
yang telah disajikan.TUGAS TEORI KOMUNIKASI
YOGGI INDRIYANSYAH
45180096
UNIVERSITAS BSI BANDUNG
Comments
Post a Comment
COMMENT HERE